Monday, June 12, 2006

Hamba Yang Berkenan - 1

Istilah hamba, sudah sangat akrab di telinga kita, sering juga dikhotbahkan hampir di setiap ibadah raya hari minggu, disemua gereja yang ada. Ev. Drg. Yusak Tjipto dalam salah satu khotbahnya menyebutkan, tingkat2 pertumbuhan rohani yang dilalui oleh orang percaya adalah : Anak -> Hamba -> Sahabat. Status anak kita dapatkan ketika kita baru bertobat, percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Setelah itu Tuhan akan bawa kita kepada status hamba, dimana kita diberikan tanggung jawab, proses karakter juga terjadi di tahap ini, setelah lulus kualifikasi sebagai hamba, baru kita bisa mencapai level sahabat, dalam level sahabat ini, kita sudah menjadi orang yang dewasa rohani, bisa mengerti hati Allah, seperti layaknya sahabat.
Tuhan Yesus juga sering menggunakan istilah hamba, dalam perumpamaan yang diberikanNya. (Matius 18,24,25 ; Markus 12 ; Lukas 12,14,16,17,19,20 ; Yohanes 15)

Predikat Hamba Allah itu bukan monopoli para pendeta, yang sudah lulus sekolah Teologia, dengan predikat S.Th, MDiv atau Doktor. Tetapi Allah menganugerahkan predikat tersebut kepada semua orang yang sudah ditebus oleh Darah Yesus.
Roh Kudus membukakan pengertian mengenai hamba ini secara pribadi kepada saya, tentang bagaimana menjadi seorang hamba yang bisa berkenan kepada Tuannya. Dalam Keluaran 21:1-11 TUHAN sendiri yang menetapkan secara langsung melalui FirmanNya kepada Musa, peraturan bagi bangsa Israel mengenai budak/hamba. Saya percaya bukan tanpa maksud jika Allah menetapkan sendiri peraturan mengenai budak/hamba tersebut, ada suatu maksud rohani yang penting sekali untuk kita mengerti. Dalam peraturan itu dikatakan : "Apabila engkau membeli seorang budak Ibrani, maka haruslah ia bekerja padamu enam tahun lamanya, tetapi pada tahun yang ketujuh, ia diizinkan keluar sebagai orang merdeka dengan tidak membayar tebusan apa-apa" (Keluaran 21:2). Pengertian yang diberikan Roh Kudus kepada saya adalah : Ada saatnya dalam perjalanan penghambaan kita kepada Yesus, majikan kita, kita dihadapkan kepada pilihan apakah kita akan terus menghambakan diri, atau kita memilih untuk menjadi orang yang merdeka.Suatu pilihan yang sulit memang, Dengan terus menghambakan diri, kita dihadapkan kepada proses dan tanggung jawab yang tidak enak buat daging kita. Ingat.. menjadi suam-suam kuku, adalah sama dengan tidak menjadi hamba sama sekali.


Ternyata masa-masa awal penghambaan kita, itu sangat penting artinya bagi kita, dalam kita mengambil keputusan yang tepat. "Jika ia datang seorang diri saja, maka keluarpun ia seorang diri; jika ia mempunyai istri, maka istrinya itu diizinkan keluar bersama-sama dengan dia. Jika tuannya memberikan kepadanya seorang istri dan perempuan itu melahirkan anak-anak lelaki atau perempuan, maka perempuan itu dengan anak-anaknya tetap menjadi kepunyaan tuannya, dan budak laki-laki itu harus keluar seorang diri. Tetapi jika budak itu dengan sungguh-sungguh berkata : Aku cinta kepada tuanku, kepada istriku dan kepada anak-anakku, aku tidak mau keluar sebagai orang merdeka, maka haruslah tuannya itu membawanya menghadap Allah, lalu membawanya ke pintu atau ke tiang pintu, dan tuannya itu menusuk telinganya dengan penusuk, dan budak itu bekerja pada tuannya untuk seumur hidup" (Keluaran 21:3-6).

Ada dua hal yang bisa terjadi dalam masa-masa awal penghambaan :
1. Sama sekali tidak mengecap kebaikan dari Majikan. Faktor yang menyebabkan ini terjadi, karena kita membawa serta "Istri" kita dalam masa-masa awal penghambaan kita, "Istri" berbicara mengenai apa yang kita sayangi, mungkin bisa berupa kekayaan kita, status,kedudukan atau jabatan kita, atau bahkan kita memiliki agenda yang lain. Hal inilah yang menjadi pemicu seorang hamba untuk memilih menjadi orang merdeka. Jadi sangat penting jika kita menjalani penghambaan kita dengan "single" tidak ada apapun yang kita kasihi selain Majikan kita.
2.Mengecap kebaikan dari Majikan kita, Majikan kita memberikan "Istri", bedanya dengan "Istri" yang di point nomor 1 adalah : "Istri" disini bukan untuk dinikmati, untuk memuaskan diri kita, tapi untuk menghasilkan buah. Dan baik "Istri" maupun "buah(anak-anak)" yang dihasilkan dari masa-masa awal penghambaan kita ini adalah sepenuhnya milik Allah, yang adalah Majikan kita. Kita bisa mengecap ini semua jika kita datang dan menjalani masa awal penghambaan kita dengan "single" tidak ada hal yang lain dalam hati kita, dan fokus kita hanyalah Allah semata.

Mengecap kebaikan Majikan kita saja tidaklah cukup, kita harus mendapatkan pengertian, bahwa semua kebaikan yang kita kecap ("istri") dan buah yang kita hasilkan ("anak-anak") adalah milik Majikan kita, jika kita bisa mencapai pengertian ini, barulah kita bisa datang kepada majikan kita dan berkata : "Aku cinta kepada tuanku, kepada istriku dan kepada anak-anakku, aku tidak mau keluar sebagai orang merdeka".
Baru setelah kita dengan sungguh-sungguh berkata demikian kepada Allah, Majikan kita, maka Allah akan "mengikat" kita, sebagai hambaNya seumur hidup kita, inilah yang dimaksud dengan Bond Servant, hamba yang sudah terikat 100% kepada Allah, tidak memiliki apa-apa (istri dan anak-anak pun milik Majikan).

Inilah hamba yang berkenan kepada Allah, yang dengan rela, sadar dan sungguh-sungguh menyerahkan dirinya, rela dan sadar bahwa dengan demikian dia tidak memiliki apa-apa, karena tujuan dan fokus dari hamba yang model demikian hanya satu : Menyenangkan Majikan yang mempekerjakan kita.

Dalam ladangNya
Leo Agustinus Yuwono

0 Comments:

Post a Comment

<< Home